Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Template

Powered by Blogger

Jumat, 07 Oktober 2011

PROPOSAL LK-1 TARBIYAH-DAKWAH


PROPOSAL
LATIHAN KADER I
“Membangun Tradisi Intelektualitas Kader Menuju Mahasiswa Islam yang Kritis dan Progresif”



Read More......

Selasa, 06 April 2010

Pudarnya Peran Mahasiswa di Kampus

Oleh: M Syamsul Hidayat (Pasca Tarbiyah)
Ketua Umum HMI-MPO Cabang Jogjakarta priode 2007-2008


Dunia kampus saat ini menciptakan sebuah makna pendidikan sebatas artificial dan konsep yang tidak dapat membangunkan spirit mengungkap realitas sebenarnya. Tercerabutnya pendidikan karena masuk dalam silang sengkarut kapitalisme yang pada akhirnya pendidikan “tergadaikan” dalam geliat materialisme yang sudah menjadi tradisi dalam ranah kehidupan. Imbas dari hegemoni kapitalisme-neoliberalisme sakan-akan pendidikan sebagai sebuah pasar pendidikan yakni semacam Mc Donal-isasi pendidikan (meminjam isltilah H..A.R Tilaar) yang artinya pendidikan di ibaratkan makanan cepat saji atau instant yang meng-konstruk terutama bagi mahasiswa untuk cepat selesai karena dimungkinkan dengan semakin mahalnya biaya kuliah. Kondisi ini juga ditambah dengan beberapa kebijakan kampus yang semakin tidak populis dimata mahasiswa. Barangkali ini yang membuat élan vital mahasiswa menjadi agak menurunkan tingkat progresifitas dan tingkat kekritisan yang notabene melekat pada mahasiswa. Mahasiswa dihadapkan pada pilihan yang sangat dilematis antara kuliah an sich dengan bergelut dengan organisasi (intra-ekstra kampus).


Ghiroh mahasiswa dikampus menjadi mlempem karena begitu kuat kebijakan kampus. Apalagi ketika kampus-kampus besar sudah beralih bukan sebagai kampus rakyat karena sudah diserahkan pada mekanisme pasar (market mechanism). Sudah banyak kampus berubah menjadi PT BHMN yang tentu saja subsidi dari pemerintah dikurangi sehingga beban biaya ditanggung kampus. Hal ini implikasinya biaya dibebankan kepada mahasiswa. Pilihaan yang sulit bagi mahasiswa untuk beraktifitas di luar kampus yang tidak ingin terbengkalai pada kuliahnya karena semakin mahalnya biaya kuliah sehingga tidak ingin kuliah terbengkalai atau lulus lama bahkan drop out. Asumsi ini dibangun ketika melihat banyak mahasiswa yang aktif di organisasi ternyata banyak yang buruk dalam akademisnya. Stigma yang semacam ini menjadikan mahasiswa lebih memilih jalur kuliah tanpa ikut dalam organisasi manapun. Maka tidak heran pula jika kita melihat mahasiswa sudah mengalami dekadensi idealis-kritis. xxxxPendidikan yang menurut Paule Freire masih menerapkan gaya banking ( Education of concept banking) yang masih menjadikan mahasiswa pasif, menjadi pendengar yang baik,datang kekampus asal bisa absensi masuk kuliah. Seedangkan konsep pendidikan yang mengarahkan pada pemecahan masalah terhadap realitas belum juga diterapkan oleh kehidupan kampus.
Kita sudah jarang menemukan mahasiswa di kampus bergelut dengan wacana seperti diskusi-diskusi (Focus Group Discussion, limited Group), seminar-seminar ilmiah dan sebagainya. Kebanyak yang sering kita jumpai mahasiswa lebih suka jalan-jalan ke mal, diskotik-kafe, dan beberapa tempat hiburan lain. Fenomena semacam ini bagi mahasiswa menyebabkan pemikiran hedonisme-pragmatisme termanifestasi dalam diri mereka. Logika falsafah sebagai agen perubahan (agent of change) hilang tanpa jejak ditingkat mahasiswa yang juga menyandang sebagai kaum terdidik. Kaum terdidik tidak bisa mendidik masyarakat yang sangat butuh pencerahan dari kaum ini. Disaat rakyat sangat membutuhkkan vanguard dari mahasiswa karena beberapa kebijkan-kebijakan Negara yang pada akhirnya masih melambungnya angka kemiskinan sampai 37, 1 juta yang artinya sekitar 17, 75 persen dari semua penduduk negeri ini tergolong miskin. Belum lagi angka pengangguran yang cukup tinggi sekitar 11 juta di seluruh negeri ini. Pengetahuan yang didapat mahasiswa di kampus belum mampu untuk membebaskan masyarakat. Kalau kita dapat mengkonstantir dari bukunya Jurgen habermas yakni knowledge and human interest dimana pengetahuan dibedakan menjadi tiga bagian yakni pertama pengetahun interpretasi yang artinya pengetahuan hanya untuk mengetahui atau menerjemahkan belaka saja. Kedua, pengetahuan instrumental artinya pengetahuan yang hanya sifatnya memprediksi, mendefinisikan dan mengeksploitasi obyeknya. Ketiga, pengetahuan emanspiatoris-kritis dimana pengetahuan ini sifatnya adalah mampu membebaskan umat atau mnejadikan obyeknya bisa bergerak dalam ranah kemaslahatan.
Tampaknya mahasiswa belum menyentuh dalam pengetahuan emansipatoris-kritis yang pada prinsipnya memahami realitas sosial seperti persoalan kemiskinan, penindasan kelaparan. Dengan kondisi semacam ini, sekarang dalam mahasiswa dapat dibedakan menurut tipologinya yakni mahasiswa aktifis, mahasiwa hedonis, mahasiswa akademis. Kalau dahulu dalam piramida mahasiswa prosentase urutanya dari yang terbesar adalah mahasiswa aktifis, kemudian akademis,dan hedonis (lihat piramida I) sehingga wajar bila peran mahasiswa pada saat itu masih kuat bdalam tradisi inteletual terutama karena banyaknya yang ikut organisasi yang mengolah kemampuan mahasiswa sendiri. Beda dengan zaman masa kini justru sudah terbalik urutannya yakni pertama prosentase terbesar dari hedonis, Akademis, dan Aktifis (lihat piramida ke II)




Mahasiswa
Hedonis

Mahasiswa Akademis


Mahasiswa Aktifis

Piramida Mahasiswa I



Mahasiswa Hedonis


Mahasiswa Akademis

Mahasiswa
Aktifis


Piramida Mahasiswa II

Tentu bagi mahasiswa menjadi seorang aktifis atau mahasiswa akademis bahkan hedonis adalah sebuah pilihan bagi mahasiswa sendiri untuk menentukan sikapnya. Pilihan-pilihan itu tentu saja memiliki sebuah konsekusensi yang harus diterima oleh pemilih. Bahkan mungkin tipologi mahasiswa saat ini lebih mengkrucutkan pada dua criteria mahasiswa sebagai mahasiswa apatis dan mahasiswa aktifis. Mahasiswa apatis masih bergelut pada individualisme dan egoisme tanpa pernah memperhatikan keadaan sekitar atau tidak mempunyai sense of crisis, sense of urgency, dan sense of social. Mahasiswa ini masih terbagi menjadi tiga tipe yakni mahasiswa pinggiran. Mahasiswa ini biasanya berasal dari kampung yang tujuan kuliah di kota untuk memperbaiki taraf ekonomi dan hidup. Ukurannya adalah materi yang jadi targetnya. Sehingga orientasi juga Cuma kuliah. Kedua, mahasiswa salon, yaitu yang hampir sama dengan mahasiswa hedonis, lebih suka memamerkan fashion, kendaraannya, HP bahkan sampai pacarnya juga dipamerkan. Ketiga, mahasiswa anak mami, yang lebih cenderung study oriented, suka konsultasi sama dosen, kuliah-kos-kuliah dan sibuk dengan aktifitas pribadinya. Sedangkan untuk mahasiswa aktifis yakni mahasiswa yang concern pada realitas sosial, kritis dan progresif dalam keadaan apapun. Mahasiswa ini masih dibedakan lagi menjadi empat tipe yakni mahasiswa aktifis-fungsionaris yaitu mahasiswa yang bergelut pada kegiatan yang hanya bergerak pada ranah momentum saja seperti menjadi panitia OSPEK kampus. Kedua, mahasiswa aktifis-pragmatis ialah mahasiswa aktifis yang memiliki kecenderungan untuk meraih kekuasaan dalam struktur organisasi. Orang-orang ini hanya ingin mementingkan diri sendiri merebut kekuasaan bagi diri sendiri. Ketiga, mahasiswa aktifis idealis-kritis, artinya adalah mahasiswa yang benar-benar kritis dan memiliki komitmen untuk berjuang terhadap keadilan dan kebenaraan. Namun, kadang mahasiswa jenis ini sering juga kuliahnya berantakan, IPK hancur bahkan lebih ironisnya sampai drop out. Keempat, adalah mahasiswa idealis-kritis-akademis. Mahasiswa ini disebut sebagai perfect the student dalam organisasi memiliki tingkat kekritisan yang bagus namun disisi lain dalam ranah akademik juga menunjukan sisi yang menonjol bahkan bisa dikatakan berprestasi. Moga-moga kita berharap di HMI menghasilkan output-output seperti mahasiswa idealis-kritis-akademis. amin

Read More......

RENUNGAN QOBLA SUBUH

Oleh:Fauzan S. Al-Basmahi


Kehidupan yang memang penuh dengan kemunafikan, ego dan nafsu. Kesombongan telah membuat banyak kekacauan bahkan kehancuran di muka bumi ini…! Penindasan, pembodohan dan kesemena-menahan telah lama berlangsung dan masih berlangsung dan akan terus berlangsung hingga manusia sadar akan sebuah hakekat yang sebenarnya tentang dirinya dan makna “sebuah” kehidupan. Tingginya tingkat pendidikan seseorang-yang diangggap sebagai ukuran moral dan kedewasaan seseorang- tidak membuktikan bahwa moral dan akhlaknya baik. Dan ini adalah realita yang kita saksikan dan itu ada di sekitar kita bahkan di sebuah “keluarga”.

Prinsip dan pegangan hidup yang ada dalam diri kita, -yang kadang kita anggap paling benar- kadang kala harus mengorbankan dan menindas orang lain. Tingginya ego dan kesombongan yang ada dalam diri manusia membuat ia merasa di atas segalanya, merendahkan orang lain, bahkan menafikan sebuah hakekat yang lebih tinggi dan itu tanpa kita sadari menyisakan sebuah konsekuensi yang harus kita hadapi.
Belajar dari pengalaman, berdialektika dengan realitas, serta mampu membaca kondisi sosial yang ada dikehidupan kita adalah suatu awal yang positif untuk menjadikan diri kita peka terhadap lingkungan, membuat kita sadar akan diri kita yang sebenarnya, membuat diri kita mengerti mengapa kita harus ada dimuka bumi ini dan membuat kita mampu menjadikan diri kita seorang manusia yang benar-benar seorang manusia dan menghormati sesama manusia.
Kenyataan-kenyataan pahit yang kadang kala menerpa kehidupan yang kita jalani adalah bagian dari sebuah proses pembelajaran yang berimplikasi pada tingkah laku kehidupan yang pada gilirannya nanti akan menjadikan kita manusia yang bebas, bijaksana, serta mengerti akan makna yang subtansial dalam realitas fana kehidupan. Orang-orang yang mampu melihat keadaan secara objektif akan bersikap cerdas dan proporsional dalam menyikapi hal-hal yang dianggap tidak sesuai dengan norma-norma sosial. Mereka akan melihat keadaan tersebut secara mendalam dan mempelajarinya hingga dapat menyimpulkan sebuah kesimpulan yang bisa diinternalisasikan kedalam dirinya secara pribadi.
Seandainya kita mau berfikir sejenak untuk mempertanyakan mengapa harus ada kesombongan, mengapa harus ada peperangan, keegoisan, kearifan, dan mengapa harus ada penindasan, serta mengapa Tuhan menciptakan hal-hal yang buruk pada diri manusia? Dan juga mengapa Tuhan menciptakan banyak kebaikan? Pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang sangat sederhana dan kalau kita mampu menjawab dengan pandangan-pandangan yang bijaksana maka suatu kesimpulan akan kita dapatkan serta membuat kita mengerti akan sebuah “arti”.
Kita, kadangkala dan seringkali terpesona dengan hal-hal yang bersifat sementara dan berbentuk formalitas belaka yang penuh dengan berbagai manipulasi dan kamuflase. Dan juga kita -sebagai manusia- sering kali bangga akan hal-hal yang kosong, memperdebatkan sesuatu tidak berarti bagi kehidupan. Dan parahnya, kita merasa bangga kalau apa yang kita lakukan menapatkan pujian dari orang lain, sebaliknya kita akan pesimis dan menyerah ketika pekerjaan kita dikritik dan dicela oleh orang lain. Optimisme yang kadang harus kita bangun dari kegagalan tidak membuat hati kita sadar betapa banyak yang harus kita kerjakaan untuk hidup ini, hidup yang sangat singkat dan harus diisi dengan kebaikan-kebaikan yang bermanfaat bagi orang lain.
Menjadikan hidup kita mulia tidak hanya dengan mengutarakan argumentai-argumentasi langit yang tidak difahami makhluk bumi, tidak juga dengan menyimpan sejuta teori pengetahuan untuk diperdebatkan, akan tetapi dengan langkah keberanian yang bijaksana, dengan pengetahuan yang digunakan untuk menjawab tantangan real sosial mayarakat.
Hidup berarti bergerak. Bergerak untuk memberikan kenyamanan dan kebaikan bagi orang lain.

Read More......

Menumbuhkan Kembali Kesadaran Kritis Mahasiswa

Guntur Akbar
(Tulisan ini di ambil dari tor Training Proletar Kom. Tarbiyah 2008)


Kemerdekaan bangsa Indonesia yang dideklarasikan pada tahun 1945 oleh Sukarno dan Hatta merupakan karunia terbesar bagi bangsa ini. Sekian lama dijajah, selama itu juga rakyat Indonesia berjuang dengan jiwa dan raganya untuk merebut kembali tanah air dari tangan-tangan penjajah. Berbicara masalah perjuangan rakyat Indonesia untuk meraih kemerdekaan, kita tidak akan terlepas dari gerakan-gerakan sosial yang ada saat itu, salah satunya gerakan mahasiswa yang terbentuk dalam organisasi pemuda. Seperti gerakan Budi Oetomo ( 1908 ), Perhimpunan Indonesia, dan dari gerakan inilah muncullah beberapa kelompok studi yang berproses menjadi sebuah pemikiran dan pergerakan yang kemudian keluarlah momentum bersejarah yakni Sumpah Pemuda.



Semangat para pemuda pada zaman kemerdekaan tidak berhenti dengan tercapainya kemerdekaan dan tidak juga hilang ditelan sejarah. Spirit para pemuda tersebut mengalir kepada para mahasiswa, sebut saja terbentuknya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia sebagai kontrol pemerintahan Soekarno yang mulai yang keluar jalur demokrasi menjadi otoriteranisme. Sejarah peran mahasiswa sebagai kontrol pemerintah berulang lagi hingga pada rezim orde baru sebelum masa reformasi. Runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 adalah bukti bahwa mahasiswa pada waktu itu menjadi contoh bahwa mahasiswa mempunyai peran yang sangat urgen bagi majunya negara indonesia.
Gerakan mahasiswa pada tahun 1998 adalah imbas dari ketidakpuasan mereka terhadap rezim yang tidak lagi memihak kepada kepntingan-kepentingan rakyat, sehingga menjadi tuntutuan agar reformasi segera dilaksanakan.
Pemerintahan reformasi telah berjalan, akan tetapi kekecewaan yang dirasakan oleh rakyat semakin mendalam, perubahan yang diharapkan oleh rakyat dan tuntutan yang yang dikehendaki mahasiswa hanya sekedar perubahan orang-orang yang ada pada tingkat elit politik pemerintahan. Pemerintahan yang baru hanya bisa menghasilkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan orang-orang yang mempunyai kepentingan. Hak-hak rakyat kecil semakin di singkirkan dan tidak diperjuangkan, masyarakat miskin kota dan kaum miskin lainnya semakin tersisih dan dianggap sebagai sampah yang hanya menjadi beban bagi negara. Ini terbukti dengan semakin banyaknya pembangunan-pembangunan fisik yang sama sekali tidak berguna dengan barbagai macam alasan dan dalih, lagi-lagi orang-orang miskin hanya menjadi korban dengan adanya penggusuran-pengusuran, dan kebijakan-kebijakan yang ”sok” mementingkan rakyat padahal tidak sama sekali.
Pergantian pemerintahan orde baru bukanlah sebuah solusi, karena elit-elit politik yang ada di dalamnya adalah ”murid-murid” yang patuh pada guru-guru mereka yakni para antek-antek orde baru. Para murid yang hanya bisa menjalankan apa yang pernah ”diajarkan” oleh guru mereka, dan layaknya seorang murid yang patuh mereka harus mencontoh dan mentauladani guru mereka. Dan sekali lagi, reformasi telah gagal dan tuntutan para mahasiswa agar terjadinya perubahan menuju kearah yang lebih tidak terpenuhi.
Salah satu gerakan mahasiswa yang tidak hanya menghendaki pegantian presiden yakni HMI MPO, para aktivis yang ada didalamnya menuntut agar perubahan tidak hanya terjadi pada pergantian orang-orang yang ada pada elit pemerintahan akan tetapi semua sistem yang ada dalam pemerintahan agar segera di ganti, dan revolusi adalah sebuah pilihan yang diyakini bisa mengobati dan memulihkan stbilitas negara kita yang sudah jauh dari masyarakat yang tamaddun, masyarakat yang sejahtera dengan pemerintahan yang berpihak pada kaum miskin dan mensejahterakan rakyat miskin.
Reformasi telah lama berlalu dan pemerintahan telah mengalami berapa kali pergantian, perubahan-perubahan banyak terjadi dalam berberapa aspeknya. Perjuangan dan pergerakan mahasiswa pada masa orde baru dan sebelum reformasi hanya tinggal menjadi cerita dan kenangan bagi para mahasiswa, bahwa dulunya mahasiswa mempunyai peran yang penting bagi kemajuan dan perubahan bangsa kita ini.
Mahasiswa juga semakin terlena dengan kondisi sekarang ini seakan-akan mereka ditidurkan dan dibutakan dengan kondisi real soial yang ada di sekitar mereka. Para mahasiswa telah lupa dengan tugas utama mereka yakni sebagi control sosial yang berperan bagi kemajuan dan perubahan. Kebijakan-kebijakan pemerintah serta peraturan-peraturan kampus yang semakin mendukung bagi mahasiswa untuk tetap diam dan duduk manis di kamar mengerjakan tugas-tugas dari dosen supaya mereka cepat lulus dan mendapat gelar sarjana. Secara tidak sadar, mahasiswa dibatasi geraknya dan dilenakan dari kondisi yang ada disekitar mereka. mahasiswa sekarang bagaikan sekor ayam jago yang kehilangan tajinya, dan tak bisa berbuat apa-apa kecuali bersikap seperti ayam betina yang hanya bisa mencari makan dan menjadi korban ayam jantan yang lebih kuat.
Spirit dan perjuangan para pendahulunya seakan hanya sebuah dongeng sebelum tidur dan tidak bisa menjadi motivasi bagi mereka untuk tetap berjuang bagi masyarakat. Duduk manis mendengarkan ocehan dosen adalah hal yang lebih berharga dibandingkan dengan diskusi dan mencoba untuk melihat kebijakan yang berat sebelah serta mencoba untuk mencari solusi yang konstruktif bagi masyarakat.
Keadaan telah berubah dan sejarah takkan mungkin terulang akan tetapi sprit yang dulu pernah dibangun oleh para mahasiswa setidaknya bisa membangunkan kita dari tidur dan keterlenaan kita, mengingatkan kita dari kelupaan bahwa mahasiswa mempunyai tanggung jawab yang besar. Tanggung jawab yang tidak hanya sekedar belajar dan menelaah buku akan tetapi lebih dari itu mahasiswa menjadi barometer bagi sebuah perubahan progressif dan kritis terhadap kebejikan-kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada rakyat kecil.
Mahasiswa yang mempunyai kadar intelektual lebih dari masyarakat biasa dituntut untuk tetap peka dengan keadaan dan tetap bergerak serta bisa menghasilkan dobrakan-dobrakan yang revolusioner membawa kemajuan bagi dirinya dan masyarakat serta negara. Bahkan bagi para mahasiswa perjuangan yang akan dihadapi bukan hanya sekedar kritis terhadap kondisi politik kampus, lebih dari itu mencari penyebab keterbelakangan kondisi negara dan masyarakat serta turut bertanggung jawab untuk mencari solusi yang bisa membuat masyarakat dan negara ini maju dan berperadaban.
Peraturan dan kebijakan-kebijakan kampus yang ada, setidakanya tidak menjadikan nyali para aktivis ciut untuk tetap bergerak dan berjuang, serta tidak terjebak dalam birokrasi kampus dan permainan politik pendidikan. Dan sebaliknya hal ini bisa menjadi pemicu bagi mahasiswa untuk tetap cepat tanggap dan kritis dengan keadaan.

Read More......

Senin, 22 Maret 2010

Rumah Kita HMI

Oleh: Guntur Akbar

Layaknya sebuah organisasi adalah mempunyai sebuah tempat untuk kumpul bersama, tempat untuk membicarakan berbagai macam persoalan. Untuk itu pulalah kemudian HMI MPO mempunyai sebuah sekretariat untuk para anggotanya, terutama untuk para akhwat, dan selama ini kita menyebutnya RUKI (Rumah Kita). Ruki untuk akhwat dan Marakom untuk para ikhwan, keduanya merupakan mitra, pasangan, serta menjadi kelengkapan sendiri untuk perjuangan HMI khususnya bagi Korkom UIN Sunan Kalijaga.


Keberadaan Rumah Kita sudah berdiri sejak bertahun-tahun lamanya, dan telah berganti tempat dan lokasi, akan tetapi Ruki adalah Ruki ia akan selalu menjadi tempat berkumpulnya para HMI wati Korkom UIN Sunan Kalijaga. Keberadaannya pun sangatlah dibutuhkan, pada dataran praksisnya ia sering menjadi tempat menginap bagi tamu-tamu yang datang dari luar kota, entah itu anggota HMI Maupun bukan anggota.
Lantas, apakah Ruki hanya akan menjadi tempat menginap semata? Sebagai sebuah sekretariat, ia akan menjadi ruang tersendiri sebagai pusat sebuah pergerakan. Maka konskuensi sederhana dari itu adalah menjadikan Ruki sebagai ruang untuk publik HMI, menjadi rumah tidak hanya untuk para penghuninya saja, atau kontrakan sebagai seorang mahasiswa biasa, lebih dari itu ia menjadi ruang untuk berdiskusi, menjadi markaz untuk merancang strategi gerak, dan adakalanya menjadi dapur penyedia logistic untuk sebuah perjuangan.
Seperti halnya Marakom, ruki juga hendaknya mempunyai sistem keta’miran untuk mengurusi segala macam permasalahan ke-rumahtangga-an, baik itu dari urusan listrik hingga urusan kebersihan. Keperluan akan hal ini bukan hanya sekedar untuk basa basi semata, ia adalah sebuah kebutuhan demi keteriban dan keutuhan rumah tangga ruki sendiri.
Tidak berlebihan ketika dikatakan bahwa sekretariat adalah jantung bagi gerak langkah perjalanan organisasi, maka sudah sepantasnyalah jantung harus terus berdenyut sebagai tanda bahwa kita masih hidup dan bisa terus bergerak. Ruki akan terus berkontribusi bagi gerak perjuangan ketika ia masih menghidupkan berbagai macam kegiatan didalamnya baik itu formal maupun cultural. Berbagai macam diskusi seharusnyalah selalu ada dalam mengiringi perputaran waktu menuju keheningan malam, atau lantunan kalam kebenaran dalam menymbut awal kehidupan.
Begitu juga dengan para penghuninya, sebagai insan yang ditakdirkan oleh Pencipta dengan tugas khusus sebagai penentu baik-buruk peradaban, tentulah menjadi amanah yang mulia. Sehingga langkah selanjtunya adalah bagaimana untuk terus bisa berproses untuk menunaikan tugas dan amanah tersebut dengan baik.
HMI-wati, sejatinya adalah para penerus Siti Khadijah dalam mendampingi perjuangan Muhammad SAW, mereka adalah para pengganti Fatimah bagi Sayyidina Ali dalam melanjutkan perjuangan Islam.
Peradaban yang agung tidak sedikit berasal dari kontribusi serta sumbangsih kaum perempuan, dan tidak sedikit juga kehancuran disebabkan oleh mereka. Maka sebagai soko guru peradaban, HMI-wati tentunya akan selalu tegar dan istiqomah dalam menapaki jalan yang telah mereka pilih, menjadi mitra untuk mewujudkan idelaisme perjuangan HMI, menjadi pemimpin dan guru bagi generasi penerus, dan menjadi penentu bagi terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoi Allah SWT, dan itu semua bermula dari Rumah Kita HMI.

…Untuk saudari-saudariku seperjuangan tetaplah untuk selalu tersenyum dan tegar dalam melangkah, karena itulah yang akan tetap membuat kita selalu optimis bahwa perjuangan kita pasti akan sampai…

Read More......

Sekolah

Oleh: Guntur Akbar




“Tidak seorang pun yang dapat menunjukkan kepaadamu apa yang seharusnya, namun segalanya telah terhampar setengah tertidur dalam pajar pengetahuanmu. Guru... tidak memberi kearifan tetapi memberi keyaknan dan kecintaanya. Jika ia sungguh-sungguh bijak ia tak akan mengajakmu memasuki rumah kearifannya, tetapi justru mengarahkanmu pada batas fikirinmu sendiri... ia tak akan dapat memberimu pemahamannya... karena seseorang yang berwawasan tidak akan meminjamkan saypanya pada orang lain. Dan bahkan jka masing-masing dirimu berdiri sendiri dalam pengetahuan Tuhan, maka masing-masing dirimu harus menjadi diri sendiri dalam pengetahuannya akan Tuhan dan pengetahuannya akan alam.” ( Gibran 1978 )


Sekolah...? apa itu sekolah? Kenapa orang banyak yang sekolah? Kenapa orang berjuang mati-matian agar bisa sekolah? Sebegitu pentingkah sekolah sehingga semua orang “harus sekolah”?
Sekolah seperti banyak yang kita lihat sekarang adalah tempat atau institusi yang didalam terdapat proses belajar mengajar dan pembelajaran. Sekolah sudah ada semenjak dulu yakni dimulai oleh seorang filosof yang ingin menjarkan ilmu-ilmu baik itu filsafat maupun ilmu-ilmu alam lainnya, tempat itu dinamakan Academia yang didirikan oleh Plato. Di Academia tersebut Plato melakukan pengajaran kepada murid-muridnya dengan berbagai macam metode dan cara, di sekolah itu pula proses belajar, transformasi ilmu pengetahuan berlangsung, dan sampai ia meninggal sekolah itupun tetap ada dan dilanjutkan oleh kemenakannya.
Dari sana kemudian sekolah terus berkembang dengan berbagai macam gaya dan model pembelajaranyang ada didalamnya. Dari masa kemasa kemudian sekolah menjadi suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Sekolahpun kemudian dibagi-bagi menjadi tingkatan-tingkatan yang disesuaikan dengan perkembangan manusia. Dari mulai yang paling dasar sampai kepada jenjang universitas. Tidak hanya sampai di situ saja, sekolahpun kemudian mendapatkan perhatian yang sangat lebih di setiap negara. Dengan asumsi bahwa sekolah menjadi sarana yang cukup efektif untuk pendidikan dan untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Akan tetapi, seiring dengan perubahan zaman sekolahpun sedikit banyak mengalami pergeseran-pergeseran nilai didalamnya, bahkan ada yang kemudian menyebutkan sekolah sebagai candu. Sekolah juga, dimata masyarakat seakan menjadi sebuah barometer sebuah status sosial yang kemudian berdampak pada pemarjinalan masyarakat yang tidak sekolah, terjadinya kasta-kasta dalam masyarakat dan ini kemudian disebut oleh Freire sebagai proses dehumanisasi yang sangat jelas menyimpang dari arah dan tujuan filosofi pendidikan.
Kalau kita ingin melihat kualitas suatu bangsa maka lihatlah kualitas pendidikannya, setidaknya itu adalah sebuah kata yang sering kita dengar dan itu bisa membuat pertanyaan dalam hati kita tentang kualitas negara kita sendiri, dengan melihat sekolah sebagai bagian dari sarana pendidikan, kita lihat seberapa baikkah sekolah-sekolah yang ada di bumi pertiwi ini, baik secara kualitas maupun secara kuantitas.
Kalau kita bersikap sedikit cerdas untuk mencermati sekolah-sekolah yang ada disekitar kita dan seluruh sekolah yang ada di Indonesia tidak banyak yang sekolah yang benar benar menerapkan apa yang telah di rumuskan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Dinas Pendidikan. KTSP, secara idealitas apa yang telah disusun dan dirumuskan dalam kurikulum ini sudah sedikit banyak menyentuh dengan tujuan dari pendidikan walaupun dalam realitas banyak sekali kendala yang terjadi. Baik itu dari masalah SDM, kesiapan dalam menerapkan hal ini sampai pada ketidak percayaan terhadap kurikulum yang baru.
Pergeseran paradigma yang telah mempengaruhi banyak hal termasuk pergeseran arti dan fungsi sekolah. Kepentingan-kepentingan yang bersifat individu maupun yang bersifat politis sudah masuk dalam wilayah pendidikan dengan sebuah konsekuensi yang sangat fatal yakni sekolah dan berbagai institusi pendidikan lainnya menjadi ajang perbisnisan dan perpolitikan sebagian para bapak-bapak besar di negeri ini dengan tujuan yang sangat tidak manusiawi yakni untuk melangengkan kekuasaan dan juga untuk kekayaan pribadi.
Begitu banyak jumlah masyarakat di sekeliling kita yang masih buta huruf seiring dengan masih banyaknya jumlah masyarkat yang masih dibawah garis kemiskinan. Paradigma yang telah meracuni fikiran masyarakat kita adalah bahwa ilmu pengetahuan hanya ada di sekolah dan menjadi barang yang sangat langka sekali dan tentunya harganyapun sangat mahal jadi, bagi orang yang miskin dan tidak punya uang jangan sekali kali berkhayal untuk dapat pintar dan bersekolah, karena untuk mendapatkan hal itu harganya sangat mahal dan dijualnyapun tidak pada sembarang tempat dan hanya ada di sekolah. Setidaknya begitulah yang digambarkan oleh Ivan Illich tentang persekolahan dan proses yang ada di dalamnya yang di utarakannya lewat buku Dischooling Society.
Apakah ini sudah menjadi budaya warisan para penjajah, Dimana sekolah hanya bisa dimasuki oleh orang-orang yang berdarah biru dan ningrat, serta pandangan yang sangat hormat pada orang bersekolah sehingga apapun yang keluar dari mulut orang yang bersekolah adalah hal yang sangat benar. Kalau dahulu zaman Belanda tidak menginginkan semua orang Indonesia bersekolah dan pintar, mungkinkah pemerintah kita sekarang tidak menghendaki masyarakatnya pintar dengan cara yang berbeda? Yakni dengan cara menaikkan biaya sekolah dan harga kebutuhan masyarakat sehingga secara halus orang yang miskin dilarang sekolah!!!
Kalau pengetahuan sudah menjadi barang yang di bisniskan, kemudian sekolah-sekolah dan institusi menjadi pasar khusus buat orang elit, lalu kemanakah orang-orang miskin pergi untuk mencari ilmu pengetahuan? Kapankah mereka dapat lebih maju dan berfikir bahwa mereka adalah manusia yang punya hak yang sama dengan yang lainnya sedangkan mereka sibuk bagaimanakah caranya untuk dapat mengisi perut mereka hari ini? Akankah rakyat miskin akan terus menjadi korban penindasan para penguasa dan kolongmerat negeri dengan mencuci otak dan kesadaran mereka dengan menjadikan mereka bodoh? Dengan tidak sempatnya mereka berfikir kapan mereka pintar dan berpendidikan karena tuntutan biaya hidup yang sangat tinggi!!!! Ironis sekali memang.....
Membaca situasi dan kondisi seperti ini mungkin kita tidak akan cukup hanya bisa saling menyalahkan dan terus saling berdiam diri, sangat memungkinkan sekali kalau kita berusaha untuk sama sama bangkit dan menciptakan kesadaran diri ( Self Conscientization ) sehingga harapan untuk menciptakan perubahan dari masyarakat yang paling bawah adalah hal yang sangat mungkin beriringan dengan terbentuknya paradigma yang bisa membebaskan belenggu kita dari hegemoni para penindas dan kalau tidak, lagi-lagi Revolusi akan menjadi sebuah kewajiban.
Seperti yang telah kita ungkapkan pada awal pembahasan bahwa pendidikan menempati posisi yang sangat urgen dalam kehidupan suatu bangsa dan negara, melalui pendidikan yang memang benar-benar berlandaskan pada asas filosofinya kemudian bisa melahirkan generasi-generasi yang berwawasan luas, bermoral, dan bertanggung jawab teradap Bumi Pertiwi. Terciptanya pendidikan yang humanis memang bukan suatu hal yang mudah, akan tetapi kemudian dengan bermula dari keinginan dan kesadaran akan pentingnya pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan UUD dapat terwujud.
Begitu banyak para pemikir pendidikan dengan berbagai teori dan penelitian telah melahirkan berbagai aliran dalam pendidikan mulai dari yang pundamental sampai pada yang radikal dan progressif yang semuanya bertujuan agar bagaimana pendidikan dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan tujuan. Sehingga, kita bertanya di negeri kita pendidikan seperti apa yang cocok dan sesusai dengan kondisi budaya yang sangat beragam dinegri ini. Dalam konteks keIndonesiaan, KTSP kemudian muncul untuk mencoba menjawab hal ini melalui kebijakaknnya untuk dapat menerapkan kearifan lokal disekolah masing-masing.
Kembali lagi ke sekolah. Mungkin kita sudah pernah mengenyam sekolah selama beberapa tahun dan itu sudah cukup untuk kita dapat mengetahui tentang persekolahan dan apa yang telah kita dapatkan dari bangku sekolah. Kita coba lihat apakah yang telah kita pelajari kemudian sesuai denga apa yang telah kita perlukan secara pribadi dan buat orang-orang yang ada di sekitar kita. Anak-anak di sekolah dasar kita kadang terlalu jauh diajak untuk berbicara hal-hal yang terlalau global dan cenderung melangit sedangkan hal-hal yang ada disekitar mereka sering kali terlupakan.
Guru yang statusnya sebagai pendidik dan seringkali melupakan hal lain diluar persekolahan tersebut. Kondisi psikologis dan sosiologis siswa kadang juga terabaikan karena dianggap kurang penting dan tidak ada sangkut pautnya dengan proses pembelajaran siswa. Profesionalitas guru kadang harus di pertanyakan, karena mengingat begitu banyak guru-guru yang tidak begitu serius dengan pengabdiannya karena begitu banyak juga hal yang ia pikirkan, sehingga untuk dapat mewujudkan siswa yang berkualitas kadang buyar karena ada tuntutan yang lebih penting yakni tuntutan untuk bisa bertahan hidup. Dan lagi-lagi, mau tidak mau siswa yang berkualitas secara intelektual dan moral harus dimulai dengan guru yang berkualitas. Akhirnya tulisan ini akan saya tutup dengan sebuah cerita real yang saya temui di sekitar kita.
Suatu siang di kota Yogyakarta, saya pernah terjebak dilampu merah dan seorang bocah kurus pernah mendekati saya dan berkata “ mas minta uang buat biaya sekolah” dengan sangat lugu dan muka memelas kata-kata tersebut sangat lancar keluar dari bibirnya dan waktu itu tahun ajaran baru sekolah baru dimulai. Dapat kita asumsikan bahwa dalam benak bocah tersebut betapa sekolah sangat ia harapakan dengan segudang cita-cita dan harapan ketika ia bisa sekolah nasibnya akan jadi lebih baik. Begitu besarnya harapan anak tersebut pada sekolah dan tanpa sekolah nasibnya tidak akan berubah bahkan bisa jadi lebih buruk dari yang sekarang...
Kesimpulannya adalah, betapa besarnya harapan anak tersebut pada sekolah hingga untuk dapat memakai seragam dan duduk didalam kelas ia rela meminta-minta di lampu merah. Siapakah yang harus bertanggung jawab atas anak tersebut? Sekolah tampaknya sudah menjadi dewa bagi masyarakat kita dan sudah menjadi keharusan kalau mau di hormati dan tidak dikucilkan maka ia harus sekolah. Akan tetapi kita semua berharap agar pandangan-pandangan yang selalu mengutamakan sekolah dapat segera terkikis karena pendidikan tidak hanya ada di bangku sekolah. Atau muncul sekolah-sekolah yang berkualitas dengan guru yang profesional, serta dapat diperuntukkan bagi semua masyarakat bangsa Indonesia tanpa terkecuali. Amien....
Sabtu malam, Sapen, 16 agustus 2008


Read More......

Minggu, 10 Januari 2010

Terima Kasih

Puji Syukur pada Allah Rabb semesta Alam yang telah menganugrahkan kehidupan dengan cahaya iman dan islam.
Sholawat dan salam pada baginda besar kita Nabi Muhammad SAW, melalui kegigihan dan kesabarannya maka peradaban Islam hingga kini bisa kita nikmati...

Ada pertemuan ada perpisahan itulah sunnatullah yang berlaku dalm kehidupan ini, tak terasa satu tahun sudah kepngurusan HMI KOMFAK Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga berlangsung. Kami dilantik pada bulan November dan Selesai melaksanakn RAK XLII pada awal januari ini tepatnya tanggal 03 Januari 2010.

Dalam satu tahun kepengurusan kami, banyak sudah yang telah didapatkan, berbagai macam persaan silih berganti dalam melalui dinamika kehidupan di Komisariat, kadang senyum getir, kadang senyum sumringah menghias bibir kami, tak jarang juga kami tertawa senang, atau menitikkan air mata. Itulah segenap perasaan Kami selaku pengurus untuk terus menjalankan amanah ini, titipan dari pendahulu untuk generasi masa datang.

dalam satu kepengurusan mungkin tak ada prestasi gemilang yang kami raih, dan usaha kami pun masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi, masih ada yang kami lakukan untuk Komisariat yang tercinta ini walaupun hanya sedikit.

Maaf kami, selaku Pengurus untuk semua Alumni, Pasca Struktur, dan seluruh Anggota HMI Komisariat tarbiyah atas segala bentuk kekurangan dan kekhilafan.
rasa terima kasih kami juga selalu teriring buat semuanya yang telah turut berpartisipasi dalam menjalankan roda kepengurusan, atas segala sumbangannya baik materil maupun moril kami hanya bisa berso'a semoga Allah membalas semua Ibadah dan perjuangannya selama ini.

buat generasi selanjutnya... tetap istiqomah, selalu bersyukur dan ikhlas serta selalu yakin akan usaha sampai.

Read More......