Oleh: M Syamsul Hidayat (Pasca Tarbiyah)
Ketua Umum HMI-MPO Cabang Jogjakarta priode 2007-2008
Dunia kampus saat ini menciptakan sebuah makna pendidikan sebatas artificial dan konsep yang tidak dapat membangunkan spirit mengungkap realitas sebenarnya. Tercerabutnya pendidikan karena masuk dalam silang sengkarut kapitalisme yang pada akhirnya pendidikan “tergadaikan” dalam geliat materialisme yang sudah menjadi tradisi dalam ranah kehidupan. Imbas dari hegemoni kapitalisme-neoliberalisme sakan-akan pendidikan sebagai sebuah pasar pendidikan yakni semacam Mc Donal-isasi pendidikan (meminjam isltilah H..A.R Tilaar) yang artinya pendidikan di ibaratkan makanan cepat saji atau instant yang meng-konstruk terutama bagi mahasiswa untuk cepat selesai karena dimungkinkan dengan semakin mahalnya biaya kuliah. Kondisi ini juga ditambah dengan beberapa kebijakan kampus yang semakin tidak populis dimata mahasiswa. Barangkali ini yang membuat élan vital mahasiswa menjadi agak menurunkan tingkat progresifitas dan tingkat kekritisan yang notabene melekat pada mahasiswa. Mahasiswa dihadapkan pada pilihan yang sangat dilematis antara kuliah an sich dengan bergelut dengan organisasi (intra-ekstra kampus).
Ghiroh mahasiswa dikampus menjadi mlempem karena begitu kuat kebijakan kampus. Apalagi ketika kampus-kampus besar sudah beralih bukan sebagai kampus rakyat karena sudah diserahkan pada mekanisme pasar (market mechanism). Sudah banyak kampus berubah menjadi PT BHMN yang tentu saja subsidi dari pemerintah dikurangi sehingga beban biaya ditanggung kampus. Hal ini implikasinya biaya dibebankan kepada mahasiswa. Pilihaan yang sulit bagi mahasiswa untuk beraktifitas di luar kampus yang tidak ingin terbengkalai pada kuliahnya karena semakin mahalnya biaya kuliah sehingga tidak ingin kuliah terbengkalai atau lulus lama bahkan drop out. Asumsi ini dibangun ketika melihat banyak mahasiswa yang aktif di organisasi ternyata banyak yang buruk dalam akademisnya. Stigma yang semacam ini menjadikan mahasiswa lebih memilih jalur kuliah tanpa ikut dalam organisasi manapun. Maka tidak heran pula jika kita melihat mahasiswa sudah mengalami dekadensi idealis-kritis. xxxxPendidikan yang menurut Paule Freire masih menerapkan gaya banking ( Education of concept banking) yang masih menjadikan mahasiswa pasif, menjadi pendengar yang baik,datang kekampus asal bisa absensi masuk kuliah. Seedangkan konsep pendidikan yang mengarahkan pada pemecahan masalah terhadap realitas belum juga diterapkan oleh kehidupan kampus.
Kita sudah jarang menemukan mahasiswa di kampus bergelut dengan wacana seperti diskusi-diskusi (Focus Group Discussion, limited Group), seminar-seminar ilmiah dan sebagainya. Kebanyak yang sering kita jumpai mahasiswa lebih suka jalan-jalan ke mal, diskotik-kafe, dan beberapa tempat hiburan lain. Fenomena semacam ini bagi mahasiswa menyebabkan pemikiran hedonisme-pragmatisme termanifestasi dalam diri mereka. Logika falsafah sebagai agen perubahan (agent of change) hilang tanpa jejak ditingkat mahasiswa yang juga menyandang sebagai kaum terdidik. Kaum terdidik tidak bisa mendidik masyarakat yang sangat butuh pencerahan dari kaum ini. Disaat rakyat sangat membutuhkkan vanguard dari mahasiswa karena beberapa kebijkan-kebijakan Negara yang pada akhirnya masih melambungnya angka kemiskinan sampai 37, 1 juta yang artinya sekitar 17, 75 persen dari semua penduduk negeri ini tergolong miskin. Belum lagi angka pengangguran yang cukup tinggi sekitar 11 juta di seluruh negeri ini. Pengetahuan yang didapat mahasiswa di kampus belum mampu untuk membebaskan masyarakat. Kalau kita dapat mengkonstantir dari bukunya Jurgen habermas yakni knowledge and human interest dimana pengetahuan dibedakan menjadi tiga bagian yakni pertama pengetahun interpretasi yang artinya pengetahuan hanya untuk mengetahui atau menerjemahkan belaka saja. Kedua, pengetahuan instrumental artinya pengetahuan yang hanya sifatnya memprediksi, mendefinisikan dan mengeksploitasi obyeknya. Ketiga, pengetahuan emanspiatoris-kritis dimana pengetahuan ini sifatnya adalah mampu membebaskan umat atau mnejadikan obyeknya bisa bergerak dalam ranah kemaslahatan.
Tampaknya mahasiswa belum menyentuh dalam pengetahuan emansipatoris-kritis yang pada prinsipnya memahami realitas sosial seperti persoalan kemiskinan, penindasan kelaparan. Dengan kondisi semacam ini, sekarang dalam mahasiswa dapat dibedakan menurut tipologinya yakni mahasiswa aktifis, mahasiwa hedonis, mahasiswa akademis. Kalau dahulu dalam piramida mahasiswa prosentase urutanya dari yang terbesar adalah mahasiswa aktifis, kemudian akademis,dan hedonis (lihat piramida I) sehingga wajar bila peran mahasiswa pada saat itu masih kuat bdalam tradisi inteletual terutama karena banyaknya yang ikut organisasi yang mengolah kemampuan mahasiswa sendiri. Beda dengan zaman masa kini justru sudah terbalik urutannya yakni pertama prosentase terbesar dari hedonis, Akademis, dan Aktifis (lihat piramida ke II)
Mahasiswa
Hedonis
Mahasiswa Akademis
Mahasiswa Aktifis
Piramida Mahasiswa I
Mahasiswa Hedonis
Mahasiswa Akademis
Mahasiswa
Aktifis
Piramida Mahasiswa II
Tentu bagi mahasiswa menjadi seorang aktifis atau mahasiswa akademis bahkan hedonis adalah sebuah pilihan bagi mahasiswa sendiri untuk menentukan sikapnya. Pilihan-pilihan itu tentu saja memiliki sebuah konsekusensi yang harus diterima oleh pemilih. Bahkan mungkin tipologi mahasiswa saat ini lebih mengkrucutkan pada dua criteria mahasiswa sebagai mahasiswa apatis dan mahasiswa aktifis. Mahasiswa apatis masih bergelut pada individualisme dan egoisme tanpa pernah memperhatikan keadaan sekitar atau tidak mempunyai sense of crisis, sense of urgency, dan sense of social. Mahasiswa ini masih terbagi menjadi tiga tipe yakni mahasiswa pinggiran. Mahasiswa ini biasanya berasal dari kampung yang tujuan kuliah di kota untuk memperbaiki taraf ekonomi dan hidup. Ukurannya adalah materi yang jadi targetnya. Sehingga orientasi juga Cuma kuliah. Kedua, mahasiswa salon, yaitu yang hampir sama dengan mahasiswa hedonis, lebih suka memamerkan fashion, kendaraannya, HP bahkan sampai pacarnya juga dipamerkan. Ketiga, mahasiswa anak mami, yang lebih cenderung study oriented, suka konsultasi sama dosen, kuliah-kos-kuliah dan sibuk dengan aktifitas pribadinya. Sedangkan untuk mahasiswa aktifis yakni mahasiswa yang concern pada realitas sosial, kritis dan progresif dalam keadaan apapun. Mahasiswa ini masih dibedakan lagi menjadi empat tipe yakni mahasiswa aktifis-fungsionaris yaitu mahasiswa yang bergelut pada kegiatan yang hanya bergerak pada ranah momentum saja seperti menjadi panitia OSPEK kampus. Kedua, mahasiswa aktifis-pragmatis ialah mahasiswa aktifis yang memiliki kecenderungan untuk meraih kekuasaan dalam struktur organisasi. Orang-orang ini hanya ingin mementingkan diri sendiri merebut kekuasaan bagi diri sendiri. Ketiga, mahasiswa aktifis idealis-kritis, artinya adalah mahasiswa yang benar-benar kritis dan memiliki komitmen untuk berjuang terhadap keadilan dan kebenaraan. Namun, kadang mahasiswa jenis ini sering juga kuliahnya berantakan, IPK hancur bahkan lebih ironisnya sampai drop out. Keempat, adalah mahasiswa idealis-kritis-akademis. Mahasiswa ini disebut sebagai perfect the student dalam organisasi memiliki tingkat kekritisan yang bagus namun disisi lain dalam ranah akademik juga menunjukan sisi yang menonjol bahkan bisa dikatakan berprestasi. Moga-moga kita berharap di HMI menghasilkan output-output seperti mahasiswa idealis-kritis-akademis. amin
Selasa, 06 April 2010
Pudarnya Peran Mahasiswa di Kampus
Langganan:
Posting Komentar
(Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar