Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Template

Powered by Blogger

Senin, 22 Maret 2010

Sekolah

Oleh: Guntur Akbar




“Tidak seorang pun yang dapat menunjukkan kepaadamu apa yang seharusnya, namun segalanya telah terhampar setengah tertidur dalam pajar pengetahuanmu. Guru... tidak memberi kearifan tetapi memberi keyaknan dan kecintaanya. Jika ia sungguh-sungguh bijak ia tak akan mengajakmu memasuki rumah kearifannya, tetapi justru mengarahkanmu pada batas fikirinmu sendiri... ia tak akan dapat memberimu pemahamannya... karena seseorang yang berwawasan tidak akan meminjamkan saypanya pada orang lain. Dan bahkan jka masing-masing dirimu berdiri sendiri dalam pengetahuan Tuhan, maka masing-masing dirimu harus menjadi diri sendiri dalam pengetahuannya akan Tuhan dan pengetahuannya akan alam.” ( Gibran 1978 )


Sekolah...? apa itu sekolah? Kenapa orang banyak yang sekolah? Kenapa orang berjuang mati-matian agar bisa sekolah? Sebegitu pentingkah sekolah sehingga semua orang “harus sekolah”?
Sekolah seperti banyak yang kita lihat sekarang adalah tempat atau institusi yang didalam terdapat proses belajar mengajar dan pembelajaran. Sekolah sudah ada semenjak dulu yakni dimulai oleh seorang filosof yang ingin menjarkan ilmu-ilmu baik itu filsafat maupun ilmu-ilmu alam lainnya, tempat itu dinamakan Academia yang didirikan oleh Plato. Di Academia tersebut Plato melakukan pengajaran kepada murid-muridnya dengan berbagai macam metode dan cara, di sekolah itu pula proses belajar, transformasi ilmu pengetahuan berlangsung, dan sampai ia meninggal sekolah itupun tetap ada dan dilanjutkan oleh kemenakannya.
Dari sana kemudian sekolah terus berkembang dengan berbagai macam gaya dan model pembelajaranyang ada didalamnya. Dari masa kemasa kemudian sekolah menjadi suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Sekolahpun kemudian dibagi-bagi menjadi tingkatan-tingkatan yang disesuaikan dengan perkembangan manusia. Dari mulai yang paling dasar sampai kepada jenjang universitas. Tidak hanya sampai di situ saja, sekolahpun kemudian mendapatkan perhatian yang sangat lebih di setiap negara. Dengan asumsi bahwa sekolah menjadi sarana yang cukup efektif untuk pendidikan dan untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Akan tetapi, seiring dengan perubahan zaman sekolahpun sedikit banyak mengalami pergeseran-pergeseran nilai didalamnya, bahkan ada yang kemudian menyebutkan sekolah sebagai candu. Sekolah juga, dimata masyarakat seakan menjadi sebuah barometer sebuah status sosial yang kemudian berdampak pada pemarjinalan masyarakat yang tidak sekolah, terjadinya kasta-kasta dalam masyarakat dan ini kemudian disebut oleh Freire sebagai proses dehumanisasi yang sangat jelas menyimpang dari arah dan tujuan filosofi pendidikan.
Kalau kita ingin melihat kualitas suatu bangsa maka lihatlah kualitas pendidikannya, setidaknya itu adalah sebuah kata yang sering kita dengar dan itu bisa membuat pertanyaan dalam hati kita tentang kualitas negara kita sendiri, dengan melihat sekolah sebagai bagian dari sarana pendidikan, kita lihat seberapa baikkah sekolah-sekolah yang ada di bumi pertiwi ini, baik secara kualitas maupun secara kuantitas.
Kalau kita bersikap sedikit cerdas untuk mencermati sekolah-sekolah yang ada disekitar kita dan seluruh sekolah yang ada di Indonesia tidak banyak yang sekolah yang benar benar menerapkan apa yang telah di rumuskan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Dinas Pendidikan. KTSP, secara idealitas apa yang telah disusun dan dirumuskan dalam kurikulum ini sudah sedikit banyak menyentuh dengan tujuan dari pendidikan walaupun dalam realitas banyak sekali kendala yang terjadi. Baik itu dari masalah SDM, kesiapan dalam menerapkan hal ini sampai pada ketidak percayaan terhadap kurikulum yang baru.
Pergeseran paradigma yang telah mempengaruhi banyak hal termasuk pergeseran arti dan fungsi sekolah. Kepentingan-kepentingan yang bersifat individu maupun yang bersifat politis sudah masuk dalam wilayah pendidikan dengan sebuah konsekuensi yang sangat fatal yakni sekolah dan berbagai institusi pendidikan lainnya menjadi ajang perbisnisan dan perpolitikan sebagian para bapak-bapak besar di negeri ini dengan tujuan yang sangat tidak manusiawi yakni untuk melangengkan kekuasaan dan juga untuk kekayaan pribadi.
Begitu banyak jumlah masyarakat di sekeliling kita yang masih buta huruf seiring dengan masih banyaknya jumlah masyarkat yang masih dibawah garis kemiskinan. Paradigma yang telah meracuni fikiran masyarakat kita adalah bahwa ilmu pengetahuan hanya ada di sekolah dan menjadi barang yang sangat langka sekali dan tentunya harganyapun sangat mahal jadi, bagi orang yang miskin dan tidak punya uang jangan sekali kali berkhayal untuk dapat pintar dan bersekolah, karena untuk mendapatkan hal itu harganya sangat mahal dan dijualnyapun tidak pada sembarang tempat dan hanya ada di sekolah. Setidaknya begitulah yang digambarkan oleh Ivan Illich tentang persekolahan dan proses yang ada di dalamnya yang di utarakannya lewat buku Dischooling Society.
Apakah ini sudah menjadi budaya warisan para penjajah, Dimana sekolah hanya bisa dimasuki oleh orang-orang yang berdarah biru dan ningrat, serta pandangan yang sangat hormat pada orang bersekolah sehingga apapun yang keluar dari mulut orang yang bersekolah adalah hal yang sangat benar. Kalau dahulu zaman Belanda tidak menginginkan semua orang Indonesia bersekolah dan pintar, mungkinkah pemerintah kita sekarang tidak menghendaki masyarakatnya pintar dengan cara yang berbeda? Yakni dengan cara menaikkan biaya sekolah dan harga kebutuhan masyarakat sehingga secara halus orang yang miskin dilarang sekolah!!!
Kalau pengetahuan sudah menjadi barang yang di bisniskan, kemudian sekolah-sekolah dan institusi menjadi pasar khusus buat orang elit, lalu kemanakah orang-orang miskin pergi untuk mencari ilmu pengetahuan? Kapankah mereka dapat lebih maju dan berfikir bahwa mereka adalah manusia yang punya hak yang sama dengan yang lainnya sedangkan mereka sibuk bagaimanakah caranya untuk dapat mengisi perut mereka hari ini? Akankah rakyat miskin akan terus menjadi korban penindasan para penguasa dan kolongmerat negeri dengan mencuci otak dan kesadaran mereka dengan menjadikan mereka bodoh? Dengan tidak sempatnya mereka berfikir kapan mereka pintar dan berpendidikan karena tuntutan biaya hidup yang sangat tinggi!!!! Ironis sekali memang.....
Membaca situasi dan kondisi seperti ini mungkin kita tidak akan cukup hanya bisa saling menyalahkan dan terus saling berdiam diri, sangat memungkinkan sekali kalau kita berusaha untuk sama sama bangkit dan menciptakan kesadaran diri ( Self Conscientization ) sehingga harapan untuk menciptakan perubahan dari masyarakat yang paling bawah adalah hal yang sangat mungkin beriringan dengan terbentuknya paradigma yang bisa membebaskan belenggu kita dari hegemoni para penindas dan kalau tidak, lagi-lagi Revolusi akan menjadi sebuah kewajiban.
Seperti yang telah kita ungkapkan pada awal pembahasan bahwa pendidikan menempati posisi yang sangat urgen dalam kehidupan suatu bangsa dan negara, melalui pendidikan yang memang benar-benar berlandaskan pada asas filosofinya kemudian bisa melahirkan generasi-generasi yang berwawasan luas, bermoral, dan bertanggung jawab teradap Bumi Pertiwi. Terciptanya pendidikan yang humanis memang bukan suatu hal yang mudah, akan tetapi kemudian dengan bermula dari keinginan dan kesadaran akan pentingnya pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan UUD dapat terwujud.
Begitu banyak para pemikir pendidikan dengan berbagai teori dan penelitian telah melahirkan berbagai aliran dalam pendidikan mulai dari yang pundamental sampai pada yang radikal dan progressif yang semuanya bertujuan agar bagaimana pendidikan dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan tujuan. Sehingga, kita bertanya di negeri kita pendidikan seperti apa yang cocok dan sesusai dengan kondisi budaya yang sangat beragam dinegri ini. Dalam konteks keIndonesiaan, KTSP kemudian muncul untuk mencoba menjawab hal ini melalui kebijakaknnya untuk dapat menerapkan kearifan lokal disekolah masing-masing.
Kembali lagi ke sekolah. Mungkin kita sudah pernah mengenyam sekolah selama beberapa tahun dan itu sudah cukup untuk kita dapat mengetahui tentang persekolahan dan apa yang telah kita dapatkan dari bangku sekolah. Kita coba lihat apakah yang telah kita pelajari kemudian sesuai denga apa yang telah kita perlukan secara pribadi dan buat orang-orang yang ada di sekitar kita. Anak-anak di sekolah dasar kita kadang terlalu jauh diajak untuk berbicara hal-hal yang terlalau global dan cenderung melangit sedangkan hal-hal yang ada disekitar mereka sering kali terlupakan.
Guru yang statusnya sebagai pendidik dan seringkali melupakan hal lain diluar persekolahan tersebut. Kondisi psikologis dan sosiologis siswa kadang juga terabaikan karena dianggap kurang penting dan tidak ada sangkut pautnya dengan proses pembelajaran siswa. Profesionalitas guru kadang harus di pertanyakan, karena mengingat begitu banyak guru-guru yang tidak begitu serius dengan pengabdiannya karena begitu banyak juga hal yang ia pikirkan, sehingga untuk dapat mewujudkan siswa yang berkualitas kadang buyar karena ada tuntutan yang lebih penting yakni tuntutan untuk bisa bertahan hidup. Dan lagi-lagi, mau tidak mau siswa yang berkualitas secara intelektual dan moral harus dimulai dengan guru yang berkualitas. Akhirnya tulisan ini akan saya tutup dengan sebuah cerita real yang saya temui di sekitar kita.
Suatu siang di kota Yogyakarta, saya pernah terjebak dilampu merah dan seorang bocah kurus pernah mendekati saya dan berkata “ mas minta uang buat biaya sekolah” dengan sangat lugu dan muka memelas kata-kata tersebut sangat lancar keluar dari bibirnya dan waktu itu tahun ajaran baru sekolah baru dimulai. Dapat kita asumsikan bahwa dalam benak bocah tersebut betapa sekolah sangat ia harapakan dengan segudang cita-cita dan harapan ketika ia bisa sekolah nasibnya akan jadi lebih baik. Begitu besarnya harapan anak tersebut pada sekolah dan tanpa sekolah nasibnya tidak akan berubah bahkan bisa jadi lebih buruk dari yang sekarang...
Kesimpulannya adalah, betapa besarnya harapan anak tersebut pada sekolah hingga untuk dapat memakai seragam dan duduk didalam kelas ia rela meminta-minta di lampu merah. Siapakah yang harus bertanggung jawab atas anak tersebut? Sekolah tampaknya sudah menjadi dewa bagi masyarakat kita dan sudah menjadi keharusan kalau mau di hormati dan tidak dikucilkan maka ia harus sekolah. Akan tetapi kita semua berharap agar pandangan-pandangan yang selalu mengutamakan sekolah dapat segera terkikis karena pendidikan tidak hanya ada di bangku sekolah. Atau muncul sekolah-sekolah yang berkualitas dengan guru yang profesional, serta dapat diperuntukkan bagi semua masyarakat bangsa Indonesia tanpa terkecuali. Amien....
Sabtu malam, Sapen, 16 agustus 2008


Tidak ada komentar:

Posting Komentar