oleh: Guntur Akbar
(Kader Tarbiyah)
Tulisan dibawah ini adalah ringkasan murni ringkasan dari buku pedagogy of oppressed Paulo Freire, dan ini bertutur tentang bagaimana pendidikan bisa di lewati dengan proses dialog, karena sudah menjadi kodratnya manusia harus di hargai dan tidak bisa dipaksakan menerima seala sesuatunya dengan pemaksaan, dan dialog merupak sebuah proses yang sangat efektif dalam menciptakan hubungan yang dinamis anatr individu memungkinkan unuk terjadinya proses transformasi. Dan seperti tulisan diwah inilah Freire menggambarkan tentang dialog itu.
Jika kita mencoba untuk menganalisa dialog sebagai suatu gejala manusiawi, kita akan menemukan sesuatu yang meruupakan hakekat dari dialog itu sendiri yaitu, kata. Didalam kata kita akan menemukan dua dimensi, refleksi, dan tindakan. Dengan demikian dengan mengucapkan kata sejati adalah mengubah dunia. Bila sebuah kata dihilangkan dimensi tindakannya, dengan, dengan sendirinya refleksi dirugikan dan kata itu menjadi omong kosong menjadi verbalisme. Jika tindakan ditekankan secara berlebihandengan merugikan refleksi, kata itu berubah menjadi aktivisme. Mengada, secara manusiawi, adalah menamai dunia, mengubahnya. Manusia tidak di ciptakan dalam kebisuan tetapi dalam kata, karya, dalam tindakan refleksi. Sementara mengucapkan kata yang benaradalah mengubah dunia, maka dengan mengucapkan kata tersebuat bukanlah hak istemewa sebagian elit manusia, akan tetapi menjadi hak semua manusia yang hidup diatas bumi ini.
Dialog adalahbentuk perjumpaan di antara manusia, dengan perantaraan dunia, dalam rangka mengubah dunia. Dialog dengan demikian merupakan kebutuhan eksistensial. Dialog adalah suatu laku penciptaan dan tidak sebagai sebuah bentuk dominasi seseorang terhadapa orang lain.
Dialog tidak dapat berlangsung, setidaknya dengan tiga hal:
Yang pertama, adalah rasa cinta yang mendalam terhadapa dunia dan terhadap sesama manusia. Dan cinta merupakan dasar bagi dialog itu sendiri, serta dialog itu sendiri. Karena cinta merupakan sebuah laku keberanian, bukan ketakutan, maka cinta adalah pemihakan terhadap orang lain. Tidak perduli dimana kaum tertindas di temukan, maka laku mencintai adalah pemihakan kepada perjuangan mereka, perjuangan bagi pembebasan. Sebagai laku keberanian, cinta tidak boleh menjadi sentimental, sebagai laku kebebasan, ia tidak boleh dijadikan alat memanipulasi. Yang kedua, adalah kerendahan hati.penamaan dunia dimana manusia secara terus menerus menciptakan kembali dunia, dan itu tidak mungkin ada jika ada laku kesombongan. Dialog akan rusak jika para pelakunya tidak memiliki sikap kerendahan hati. Yang ketiga, adalah adanya keyakinan yang mendalam terhadap diri manusia. Keyakinan untuk dapat m,embuat dan membuat kembali, mencipta dan mencipta kembali, keyakinan akan fitrahnya untuk menjadi manusia seutuhnya. Keyakinan terhadap diri manusia adalah prasyarat a priori bagi dialog. Manusia dialogis percaya pada orang lain bahkan sebelum ia bertatap muka dengan orang lain. Manusia dialogis bersifat kritis dan tahu bahwa walaupun dalam dalam diri manusia terdapat kekuatan untuk mengubah dan mencipta, namun dalam suatu kondisi nyata lainnya ia juga sadar bahwa kemampuan itu mungkin saja salah dalam mengunakannya.
Mendasarkan dialog atas cinta, kerndahan hati, dan keyakinan, maka ia akan menjadi sebuah bentuk hubungan horizontal dimana sikap saling mempercayai antara para pelakunya merupakan sebuah konsekuensi yang logis. Dan merupakan kontradiksi dalam manusia jika dialog justru tidak menghasilkan suatu iklim saling mempercayai.
Minggu, 10 Januari 2010
MANUSIA DIALOGIS
Langganan:
Posting Komentar
(Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar